Oleh: Muhammad Kholilurrahman
Indonesia adalah negara yang majemuk, dan semua agama hampir memiliki penganut fanatiknya masing-masing. Kompleksitas kehidupan manusia dan agama seperti itu terjadi di berbagai belahan dunia, tidak saja di Indonesia dan Asia, melainkan juga di berbagai belahan dunia lainnya. Konteks ini yang menyebabkan pentingnya moderasi beragama, agar peradaban manusia tidak musnah akibat konflik berlatar agama. Ketiga, khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan.
Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai. Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman.
Moderasi telah lama menjadi aspek yang menonjol dalam sejarah peradaban dan tradisi semua agama di dunia. Masing-masing agama niscaya memiliki kecenderungan ajaran yang mengacu pada satu titik makna yang sama, yakni bahwa memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem dan tidak berlebih-lebihan merupakan sikap beragama yang paling ideal. Selain tokoh dan pemuka agama, pers mempunyai peran strategis untuk ikut mensosialisasikan sisi-sisi kemoderaten dalam agamanya masing-masing. “Dalam konteks kita yang majemuk, saya berharap Pewarna mempunyai peran strategis untuk bisa ikut mensosialisasikan sisi-sisi kemoderatan dari masing-masing agama,” pesan Menag Lukman Hakim Saifuddin saat menerima Persatuan Wartawan Nasrani (Pewarna) Indonesia di ruang kerjanya, Jakarta, Jumat (29/08).
Selaku Menag, putra mantan Menag KH Saifuddin Zuhri (alm) merasa pesan ini penting untuk disampaikan di tengah-tengah kemajemukan Indonesia. Sebab, lanjut Menag, setiap agama mempunyai penganutnya yang sangat fanatik yang terkadang melihat persoalan begitu hitam putih sehingga mudah membuat jarak antara dirinya dengan yang lain. “Saya yakin masing-masing agama punya penganut-penganut dengan corak dan karakteristik seperti itu,” katanya.
Menag menggarisbawahi bahwa dirinya akan sangat senang manakala teman-teman pers yang tergabung dalam Pewarna ini juga bisa memainkan perannya sebagai mediator manakala ada kalangan yang tidak sejalan dengan realitas keindonesiaan kita. “Saya berharap teman-teman yang terhimpun di Pewarna ini bisa ikut menjembatani yang seperti itu,” tuturnya.
Kedatangan Pewarna bertujuan mengundang Menag pada forum diskusi yang akan diselenggarakan pada awal Oktober nanti. Diskusi itu mengagendakan pembahasan seputar sukses kepemimpinan Persatuan Gejera Indonesia (PGI) yang Sidang Raya nya akan digelar pada awal November di Nias.“Kami berharap ke depan PGI mempunyai pemimpin yang bagus. Ada lima orang nama kandidit untuk memimpin PGI ke depan yang sudah muncul. Empat orang di antaranya sudah pasti hadir,” terang ketua panitia diskusi kepada Menag. “
Acara ini untuk menggodok calon-calon pemimpin PGI dan kami meminta Pak Lukman untuk bisa datang membuka,” tambahnya. Menag menyambut baik inisiatif Pewarna dan berharap proses diskusi itu nantinya akan menjadikan umat Nasrani merasa lebih dilibatkan dalam proses pemilihan pemimpin mereka. “Saya pikir itu bagus, sekaligus proses edukasi, mereka setidaknya lebih mengenal dengan bantuan teman-teman media (calon pemimpin mereka) lalu kemudian harapannya bisa ikut memiliki dan ada keterkaitan dengan yang terpilih nanti dengan umat sehingga hubungannya bisa lebih baik,” tutur Menag.