Oleh: Nazila Khoerunnisa
Untuk meningkatkan sikap moderat umat dalam beragama, harus mengikuti anjuran pemerintah dan fatwa-fatwa ulama, baik ulama dunia maupun MUI. Nilai moderasi menjadi karakteristik fatwa di tengah hegemoni paham ekstrimis dan radikal. Karakteristik fatwa yang mengandung nilai moderasi tetap membutuhkan pemikiran ulang yang serius.(Ghazali, 2018: 4)
Kebutuhan terhadap fatwa yang moderat dalam kasus covid 19 sangat vital karena bisa berdampak pada kegiatan rutinas ibadah di masjid atau rutinitas keseharian umat Islam seperti bekerja, bersekolah, kegiatan perkuliahan, pelayanan terhadap masyarakat dan lain sebagainya. Sebagian umat Islam masih ada yang tidak melaksanakan dan menjalankan fatwa ulama dan anjuran pemerintah dalam menghadapi covid 19.
Sebagian orang itu tetap memaksakan untuk salat berjamaah di masjid ataupun melaksanakan salat jumat di masjid dengan menganggap bahwa salat di masjid itu lebih utama karena mengutamakan ibadah kepada Allah swt. Mereka juga beranggapan bahwa covid 19 itu tidak perlu ditakuti dan kewajiban kepada Allah swt tetap harus diprioritaskan dengan beribadah berjamaah di masjid. Untuk itu, umat yang beranggapan seperti itu perlu membekali dirinya dengan belajar kembali tentang fikih-fikih seputar pandemi.
Hukum Islam itu pada dasarnya memiliki ruang yang sangat fleksibel. Ketika bahaya mengintai dan membahayakan orang lain, ibadah yang dilakukan secara normal dapat berubah.(Saenong, 2020: 6-7) Jika tidak memungkinkan dilaksanakan di masjid, sebaiknya dilakukan di rumah saja. Fikih harus upgrade secara aktual dan kontekstual tanpa mengabaikan fikih yang konvensional. Covid 19 menjadi pandemi yang mengglobal, dibutuhkan fikih pandemi yang mengatur ibadah umat Islam pada masa wabah seperti ini.
Pelaksanaan salat jumat wajib bagi umat Islam lebih khusu laki-laki yang sehat, berakal dan tidak terhalang uzur syar’i serta tidak dalam perjalanan (muqim). Akan tetapi, kewajiban jumat menjadi gugur ketika ada uzur seperti hujan lebat atau wabah yang melanda. Orang yang terpapar atau terindikasi covid 19 tidak boleh menghadiri salat jumat. Hadis Nabi menjadi argumentasi dalam hal itu: Allah dan Rasulullah dalam penetapan hukum agama. Maslahat esensial adalah jenis maslahat tertinggi yang dikehendaki Syari‘ untuk dilindungi.(Azzam, 2009: 88)
Pemahaman kaidah التحريم المضار فى األصل menetapkan bahwa hukum haram dalam masalah-masalah yang memberikan mudarat. Sesuatu yang dilarang oleh Syari‘ pasti memberikan efek mudarat sehingga mukalaf harus menjauhi dan tidak melakukannya. Bahkan, taidah tersebut mencapai tingkatan qa‘i. Tidak ada keraguan bahwa adanya mudarat yang menyertai mukalaf dianggap sebagai jenis kesukaran atau kesusahan paling kuat yang harus dihilangkan dalam aplikasi agama sebagai bentuk penolakan terhadap kesukaran.(Syatar, 2012: 62)
Kaitannya dengan masa pandemi, covid 19 menyebabkan mudarat kepada umat yang dapat mencelakakan diri sendiri maupun orang lain. Sehingga covid 19 harus dihindari dan dijauhi dengan cara tidak memaksakan kehendak untuk melakukan aktivitas yang dapat mendatangkan efek mudarat. Hal menarik dalam memutus penyebaran covid 19 adalah dengan menerapkan Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) yang diambil oleh pemerintah.
Aturan PSBB termuat dalam PERMENKES Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19. Walaupun penerapan PSBB tidak universal berlaku di seluruh pelosok Indonesia, tetapi terlihat dengan penerapan PSBB tersebut sudah sangat sesuai dengan kaidah fikih فى األصل التحريم المضار. PSBB sekalipun belum optimal, setidaknya membendung mudarat yang lebih besar jika membiarkan umat untuk beraktivitas secara normal pada masa covid 19 ini. Kebijakan lain yang diambil pemerintah sikap moderat adalah pelarangan mudik lebaran tahun 2020 ini.