Oleh: Nazila Khoerunnisa
Covid 19 memiliki dampak penyebaran yang sangat cepat. Covid 19 dapat menginfeksi sistem pernapasan. Banyak kasus yang menyebabkan infeksi pernapasan ringan seperti flu atau infeksi pernapasan berat seperti infeksi paru-paru. Bahkan, mengakibatkan kematian dan ditangani dengan cara berbeda dengan kematian seperti biasanya.(Team China, 2020: 11) oleh karena itu, gejala awal infeksi dapat menyerupai gejala flu sepeti demam, pilek, batuk kering, sakit tenggorokan dan sakit kepala. Gejala dapat sembuh atau malah meningkat dan memberat. Pada tingkat kematian yang disebabkan oleh covid 19 ini dapat dijumpai di berbagai belahan dunia, tidak luput pula di Indonesia.
Menurut data yang dirilis oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Republik Indonesia, jumlah kasus yang terkonfirmasi pertanggal 21 Mei 2020, penderita positif berjumlah 20.162 orang dan yang meninggal 1.278 orang. (Rizky, 2020) Fakta data tersebut memberikan sinyal kepada warga negara untuk mewaspadai pergerakan dari penyebaran virus tersebut. Dengan mengikuti protokol keselamatan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dampak covid 19 tersebut memaksa kita untuk bertransformasi dari peradaban lama ke kebiasaan baru dengan hidup disiplin, mencuci tangan sesering mungkin, mandi setelah dari luar rumah, menjaga jarak (soscial dan physical distancing), memakai masker, makan makanan bergizi, beradaptasi dengan teknologi dengan memaksimalkan media telekomunikasi yang ada, hidup lebih hemat, membangun empati saling menghargai dan menolong sesama manusia, menghindari keramaian dan lain sebagainya. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, umat Islam lebih dituntut lagi untuk me-review kembali pandangan-pandangan kegamaannya.
Hukum Islam memiliki fleksibilitas yang menjadi ruh dari pandangan-pandangan keagamaan yang sepatutnya kita jalankan. Sehingga menindaklanjuti maqasid al-syari’ah menjadi sebuah keharusan. Maqasid al-syari’ah dimaknai dengan makna-makna dan hikmah- hikmah yang diinginkan oleh Tuhan pada segala kondisi tasyri’, keinginan tersebut tidak hanya terbatas pada satu macam hukum syariat, tetapi semua bentuk hukum syariah yang tujuan dan maknanya termasuk di dalamnya. Juga termasuk makna-makna hukum yang tidak terekam dalam berbagai macam hukum, akan tetapi terekam dalam bentuk-bentuk yang lain.(Ibnu Asyur, 2001)
Dalam maqasid tersebut ada tingkatan yang dikenal dengan bebebrapa terma yakni al-kulliyat al-khams, al-daruriyat al- khams atau al-masalih al-khams yang berisi menjaga agama (hifz al-din), menjaga jiwa (hifz al-nafs), menjaga akal (hifz al-‘aql), menjaga keturunan (hifz al-nasab) serta menjaga harta (hifz al-mal). Cara untuk menjaga kelima tersebut, dapat ditempuh dengan dua cara yaitu: Dari segi keberadaannya (min nahiyyat al-wujud) yaitu dengan cara manjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya. Dari segi tidak ada (min nahiyyat al- ‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya. (Al-Syatibi, 2003: 6)
Cara kerja dari kelima yang harus dijaga tersebut adalah masing- masing harus berjalan sesuai dengan urutannya. Menjaga agama harus lebih didahulukan daripada menjaga yang lainnya; menjaga jiwa harus lebih didahulukan dari pada akal dan keturuan, dan begitu seterusnya. Akan tetapi, dalam situasi pandemi covid 19 seperti masa sekarang menjaga jiwa menjadi lebih utama karena tidak ada alternatif. Berbeda dengan menjaga agama yang memiliki alternatif melalui rukhsah (keringanan). Misalnya, melaksanakan salat berjamaah di masjid bisa ditinggalkan sementara waktu dengan melaksanakan salat di rumah, baik berjamaah maupun individu. Meninggalkan salat jumat sesuai fatwa ulama untuk sementara waktu di tengah pandemi.Meskipun demikian, MUI harus bekerja keras lagi dalam lebih mencerdaskan umat tentang pentingnya konteks moderasi beragama, agar fatwa-fatwa yang dikeluarkan tidak menyisakan konflik di tengah masyarakat bahkan mungkin akan lebih baik lagi jika dapat merangkul semua kalangan sesuai kondisi yang ada.(Gusman, 2020)