Oleh: Diaz Gandara Rustam
Secara mendasar moderasi sebenarnya sudah di ajarkan oleh Islam yang sudah tergambar dalam al-Quran. Dalam al-Qur`an istilah moderasi disebut dengan Al- Wasathiyyah, namun juga terdapat perdebatan tentang pemahaman moderasi di tinjau dalam konteks kekinian. Kata ‘al-wasathiyyah’ bersumber dari kata al-wasth (dengan huruf sin yang di-sukûn- kan) dan al-wasath (dengan huruf sin yang di-fathah-kan) keduanya merupakan isim mashdâr dari kata kerja wasatha. Secara sederhana, pengertian Wasathiyyah secara terminologis bersumber dari makna-makna secara etimologis yang artinya suatu karakteristik terpuji yang menjaga seseorang dari kecendrungan bersikap ekstrim.
Dari pengertian dasar wasathiyyah dalam kamus-kamus bahasa Arab ini, dapat di tarik kesimpulan bahwa konsep wasathiyyah secara etimologi memiliki dua pengertian besar yaitu: pertama, sebagai kata benda (ism) dengan pola zharf yang lebih bersifat kongkrit (hissî), yaitu sebagai perantara atau penghubung (interface/al-bainiyyah) antara dua hal atau dua kondisi atau antara dua sisi berseberangan. Kedua, lebih bersifat abstrak (theoretical) yang berarti adil, pilihan, utama dan terbaik (superiority/al-khiyâr). Syekh Raghib al-Ashfahani (w.502 H) memberikan makna sebagai titik tengah, tidak terlalu ke kanan (ifrâth) dan tidak pula terlalu ke kiri (tafrîth), yang mana di dalamnya terdapat kandungan makna kemuliaan, persamaan dan keadilan (al-‘adl).
Ulama besar Syekh Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan, wasathiyyah yang disebut juga dengan at-tawâzun, yaitu upaya menjaga keseimbangan antara dua sisi/ujung/pinggir yang berlawanan atau bertolak-belakang, agar jangan sampai yang satu mendominasi dan menegaskan yang lain. Sebagai contoh dua sisi yang bertolak belakang; spiritualisme dan materialisme, individualisme, dan sosialisme, paham yang realistik dan yang idealis, dan lain sebagainya. Bersikap seimbang dalam menyikapinya yaitu dengan memberi porsi yang adil dan proporsional kepada masing-masing sisi/pihak tanpa berlebihan, baik karena terlalu banyak maupun terlalu sedikit.
Orang yang memiliki sifat adil akan senantiasa menjaga keseimbangan dan selalu berada di tengah dalam menangani ataupun menghadapi dua permalasalahan atau keadaan. Kata wasath dalam bahasa arab menunjukkan bagian tengah dari kedua ujung sesuatu. Kata ini memiliki makna baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis, “Sebaik- sebaik urusan adalah awsathuhâ (yang pertengahan)” , dikarenakan yang berada di posisi tengah akan senantiasa terlindungi dari cacat atau aib yang biasanya mengenai bagian ujung atau pinggir.
Pada dasarnya sifat-sifat baik merupakan akomodasi dan juga pertengahan dari dua sifat buruk, misalnya sifat gemar berbagi yang menengahi antara sifat boros dan kikir, kemudian sifat berani yang menengahi sifat sembrono dan takut. Kalau dilihat dari pengertian di atas, maka dalam agama islam tidak akan ada yang namanya esktrimisme dan radikalisme, karena sesungguhnya agama islam itu mengajarkan keadilan dan keseimbangan.
Dalam hubungan dan pandangannya tentang agama lain, Islam menerapkan prinsip tegas yang santun bahwa Agamamu untukmu, agamaku untukku sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya “Untuk kalianlah agama kalian dan untukkulah agamaku”. Agama Islam telah mengajarkan bahwa diantara manusia pasti ada perbedaan, baik dari sisi budaya, etnis, suku maupun perbedaan keyakinan, semua itu merupakan fitrah dan sunnatullah atau sudah menjadi ketetapan Tuhan, maksud dan tujuan utamanya ialah agar diantara mereka saling mengenal dan berinteraksi.
Adanya keberagaman merupakan kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tak dapat dipungkiri, khususnya di negara Indonesia yang memiliki dasar Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika : Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan dan kebhinekaan. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang secara nyata telah berhasil dan sukses menyatukan semua kelompok etnis, bahasa, suku, budaya dan agama. Indonesia dideklarasikan bukanlah sebagai negara agama, akan tapi juga tidak memisahkan antara agama dan kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai yang ada dalam agama dijaga, dipadukan dan disatukan dengan nilai-nilai adat istiadat dan kearifant lokal, bahkan ada beberapa hukum agama yang dilembagakan oleh negara, agar pelaksanaan ritual agama dan budaya berjalan dengan damai dan rukun.