Oleh: Diaz Gandara Rustam
Setiap agama memerlukan komunitas masyarakat untuk melestarikan nilai-nilai moral yang dibawa agama tersebut. Hal itu akan membentuk suatu tradisi yang akan terus berkembang. Karena itu, antara nilai-nilai moral yang dibawa agama dan tradisi masyarakat merupakan hubungan simbiosis yang saling mengisi satu sama lain. Dalam hal ini pesantren, merupakan simbiosis antara pelestarian nilai-nilai moral yang sudah menjadi tradisi dan bahkan menjadi lembaga keagamaan (Islam) di tengah masyarakat.
Pada tataran realitas, potret pendidikan pesantren senantiasa bersentuhan dengan realitas sosial. Karena itu, kehadiran pesantren sebagai institusi pendidikan dan sosial di tengah-tengah masyarakat diharapkan dapat memainkan perannya secara dinamis dengan membawa visi (rahmatan lil’alamin), yaitu mengedepankan prinsip saling menghargai, menjaga kerukunan dan perdamaian dunia, namun terlepas dari konteks tersebut sistem pendidikan pesantren seringkali direduksi sekelompok yang berpahamkan radikal untuk menjustifikasi terjadinya kekerasan atas nama agama.
Pada konteks tersebut, pendidikan pesantren diharapkan dapat menjadi garda terdepan untuk mengembalikan ajaran Islam universal dengan mengambil jalan tengah (wasathiyah), dalam membangun moderasi Islam di Indonesia, dengan melalukan rekonseptualisasi terhadap nilai sosial dimaksud. Karena itu, diperlukan konstruksi nilai-nilai pendidikan pesantren dengan kembali pada historisitas kultural dan menginternalisasikan nilai- nilai sosial di atas sebagai paradigma pendidikan Islam moderat.
Istilah pesantren klasik memiliki dua bentuk pemahaman; pesantren tua yang telah lama eksis dan pesantren yang metode pembelajarannya menggunakan cara-cara klasik. Pesantren klasikidentik dengan metode pembelajaran turats dan menggunakan sistem ceramah. Santri difokuskan untuk belajar ilmu agama secara total yang bersumber dari kitab klasik, baik kitab tersebut berhaluan syafi’iyah, hanafiah, hanabilah maupun malikiyah.
Konsep “al-wasathiyah” yang dikembangkan pesantren klasik di Indonesia, berotasi tentang akidah (keyakinan), ibadah (pelaksanaan hukum dan ritual keagamaan), dakwah (syiaragama), dan akhlak (etika). Keempat fremis ini diajarkan dandisampaikan kepada masyarakat melalui kegiatan-kegiatan halaqah dan pengajian umum sebagai bentuk tanggung jawab keilmuan. Fremis ini dikembangkan sedemikian rupa sampai membentuk pola pikir masyarakat yang moderat.
Sebagai cendikiawan yang diakui pemahaman keagamaannya di masyarakat, santri diajarkan metode pemahaman dan pengamalan teks-teks keagamaan yang ditandai dengan beberapa ciri yaitu; 1) pemahaman terhadap realitas (fiqh al-waqi’); 2) pemahaman terhadap fiqh prioritas (fiqh alauwlawiyyat);3) pemahaman terhadap konsep sunatullah dalam penciptaan mahluk (fiqh al-alam); 4) pemahaman terhadap tekstekskeagamaan secara komprehensif (fiqh al-Maqasid).
Pemahaman ini merupakan bekal untuk menguasai budaya,watak masyarakat, tujuan syariah dan kondisi eksternal dimasyarakat. Dalam interaksi dengan masyarakat luas, terutama dalampergaulan mereka sehari-hari, para santri di beberapa wilayahdituntut oleh lembaga pesantren yang mengirim mereka kedaerah-daerah untuk tidak mudah mendiskriminasi orang lain, terlebih mengkafirkannya tanpa sebab yang jelas.
Dalam keyakinan mereka, hal tersebut dilarang dikarenakan akan menimbulkan kekacauan di kalangan masyarakat dan berimplikasi terhadap hukum yang menjadi lebih rumit dan berbuntut panjang. Selain melarang untuk dengan mudah mengkafirkan oranglain dan menyeru untuk bekerja dan beraktifitas di muka bumi,para santri ini juga mangajak warga setempat untuk mempersiapkan diri dan berbekal menuju kehidupan akhirat,yaitu dengan memperkuat keimanan, menjalankan ibadah, serta menjalin hubungan dengan Tuhan mereka.
Hal ini membuktikan bahwa ajaran moderasi Islam dalam pendidikan pesantren mampu menghadirkan identitasnya sebagaiporos tengah yang terpusat dalam gerakan Islam moderat diantara dua kubu yang berbeda haluan, yaitu gerakan Islam kontemporer yang cenderung liberal dan gerakan Islam konservatif yang lebih radikal. Beberapa agenda utama dari pengembangan ajaran ini adalah: 1) memperbaiki citra Islam sebagai rahmat bagi semesta alam yang dipandang negatif dimasyarakat internasional; 2) membangun keseimbangan (harmoni) dan membumikan kerukunan (toleransi) di antarakelompok-kelompok yang berbeda, baik di luar Islam maupun didalam Islam itu sendiri; 3) memastikan bahwa paham moderasitidak melampaui garis-garis primer (tsawâbit) yang terdapatdalam ajaran Islam; serta 4) menebarkan perdamaian di mukabumi dengan membangun dialog intra- religious dan inter-faith. Alasan beberapa agenda utama tersebut adalah bahwaperbedaan paham keagamaan adalah entitas yang patut dilindungi dan dihormati sesuai prinsip “menerima yang lain.