Oleh: Diaz Gandara Rustam
Islam moderat atau yang dimaksud juga Islam Wasathiyyah, berasal dari dua kata yaitu Islam dan “wasathiyyah”. Islam sebagaimana yang diketahui adalah agama yang penuh dengan keberkahan, dan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Islam merupakan agama mayoritas yang ada di Indonesia dengan penduduk terbanyak di dunia saat ini. Kata moderasi dalam bahasa Arab diartikan “al- wasathiyyah”. Secara bahasa “al-wasathiyyah” berasal dari kata “wasath” (Faiqah & Pransiska, 2018; Rozi, 2019).
Al-Asfahaniy mendefenisikan “wasathan” dengan “sawa’un” yaitu tengah-tengah diantara dua batas, atau dengan keadilan, yang tengah-tengan atau yang standar atau yang biasa- biasa saja. Wasathan juga bermakna menjaga dari bersikap tanpa kompromi bahkan meninggalkan garis kebenaran agama (Al-Asfahani, 2009, p. 869). Kata “al-wasathiyyah” berakar pada kata “al- wasth” (dengan huruf sin yang di-sukun-kan) dan “al-wasth” (dengan huruf sin yang di-fathah-kan) yang keduanya merupakan mashdar (infinitife) dari kata kerja (verb) “wasatha”.
Selain itu kata wasathiyyah juga seringkali disinonimkan dengan kata “al-iqtishad” dengan pola subjeknya “al- muqtashid”. Namun, secara aplikatif kata “wasathiyyah” lebih populer digunakan untuk menunjukkan sebuah paradigma berpikir paripurna, khususnya yang berkaitan dengan sikap beragama dalam Islam (Zamimah, 2018). Sementara dalam bahasa Arab, kata moderasi biasa diistilahkan dengan “wasath” atau “wasathiyyah”; orangnya disebut “wasith”. Kata “wasit” sendiri sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia yang memiliki tiga pengertian, yaitu 1) penengah, pengantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis, dan sebagainya), 2) pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih, dan 3) pemimpin pertandingan. Yang jelas, menurut pakar bahasa Arab, kata tersebut merupakan “segala yang baik sesuai objeknya” (Almu’tasim, 2019).
Dalam sebuah ungkapan bahasa Arab sebaik-baik segala sesuatu adalah yang berada di tengah-tengah. Misalnya dermawan yaitu sikap di antara kikir dan boros, pemberani yaitu sikap di antara penakut dan nekat, dan lain-lain (Agama, 2012, p. 5). Pada tataran praksisnya, wujud moderat atau jalan tengah dalam Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat wilayah pembahasan, yaitu: 1) moderat dalam persoalan akidah; 2) moderat dalam persoalan ibadah; 3) moderat dalam persoalan perangai dan budi pekerti; dan 4) moderat dalam persoalan tasyri’ (pembentukan syariat) (Yasid, 2010).
Menurut Quraish Shihab melihat bahwa dalam moderasi (wasathiyyah) terdapat pilar-pilar penting yakni (Zamimah, 2018): Pertama, pilar keadilan, pilar ini sangat utama, beberapa makna keadilan yang dipaparkan adalah: pertama, adil dalam arti “sama” yakni persamaan dalam hak. Seseorang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih.
Adil juga berarti penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini mengantar pada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Adil adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya melalui jalan yang terdekat. Ini bukan menuntut seseorang memberikan haknya kepada pihak lain tanpa menunda-nunda. Adil juga berarti moderasi ‘tidak mengurangi tidak juga melebihkan”. Kedua, pilar keseimbangan.
Menurut Quraish Shihab, keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.
Dalam penafsiran Quraish Shihab, keseimbangan adalah menjadi prinsip yang pokok dalam wasathiyyah. Karena tanpa adanya keseimbangan tak dapat terwujud keadilan. Keseimbangan dalam penciptaan misalnya, Allah menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya, sesuai dengan kuantitasnya dan sesuai kebutuhan makhluk hidup. Allah juga mengatur sistem alam raya sehingga masing-masing beredar secara seimbang sesuai kadar sehingga langit dan benda- benda angkasa tidak saling bertabrakan. Ketiga, pilar toleransi.
Quraish Shihab memaparkan bahwa toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih bisa diterima. Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak dilakukan, singkatnya adalah penyimpangan yang dapat dibenarkan. Konsep wasathiyyah sepertinya menjadi garis pemisah dua hal yang berseberangan. Penengah ini diklaim tidak membenarkan adanya pemikiran radikal dalam agama, serta sebaliknya tidak membenarkan juga upaya mengabaikan kandungan al-Qur’an sebagai dasar hukum utama.
Oleh karena itu, Wasathiyah ini lebih cenderung toleran serta tidak juga renggang dalam memaknai ajaran Islam. Menurut Yusuf Al-Qardhawi, wasathiyyah (pemahaman moderat) adalah salah satu karakteristik Islam yang tidak dimiliki oleh Ideologi-ideologi lain. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an al-Baqarah ayat 143 berikut: yang artinya “demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil”.
Hukum yang adil merupakan tuntutan dasar bagi setiap struktur masyarakat. Hukum yang adil menjamin hak-hak semua lapisan dan individu sesuai dengan kesejahteraan umum, diiringi penerapan perilaku dari berbagai peraturannya (Syafrudin, 2009, p. 105). Sekurang-kurangnya ada empat makna keadilan menurut Quraish Shihab (2017) yaitu Pertama, adil dalam arti “sama”. Tetapi harus digarisbawahi bahwa persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Kedua, adil dalam arti “seimbang.
Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan yang tertentu. Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Namun perlu dicatat bahwa kesimbangan tidak mengharuskan persamaan. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Ketiga, adil adalah “perhatian terhadap hak- hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya.” Pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya.” Lawannya adalah “kezaliman”, dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain.
Dengan demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya, pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti “memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah menciptakan dan mengelola alam raya ini dengan keadilan, dan menuntut agar keadilan mencakup semua aspek kehidupan, termasuk akidah, syariat atau hukum, akhlak, bahkan cinta dan benci (Agama, 2012, p. 30).
Dalam konteks Indonesia, Islam Moderat yang mengimplementasikan Ummatan Wasathan terdapat pada dua golongan yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya mencerminkan ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang mengakui toleransi serta kedamaian dalam berdakwah (Hilmy, 2012). Sikap moderasi NU pada dasarnya tidak terlepas dari akidah Ahlusunnah wa al-Jama’ah (Aswaja) yang dapat digolongkan paham moderat.
Dalam Anggaran Dasar NU dikatakan, bahwa NU sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut paham Ahlussunah wa al-Jama’ah dengan mengakui mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Penjabaran secara terperinci, bahwa dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunah wa al-Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (al-mazhab) dari Mazhab Abu Hanifah Al-Nu’man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbali. Dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali, serta imam-imam yang lain (Qomar, 2002, p. 62).
Dalam konteks pemikiran keislaman di Indonesia, konsep moderatisme Islam memiliki sekurang-kurangnya lima karakteristik berikut ini. Pertama, ideologi non-kekerasan dalam mendakwahkan Islam. Kedua, mengadopsi pola kehidupan modern beserta seluruh derivasinya, seperti sains dan teknologi, demokrasi, HAM dan semacamnya. Ketiga, penggunaan pemikiran rasional dalam mendekati dan memahami ajaran Islam. Keempat, menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam. Kelima, penggunaan ijtihad dalam menetapkan hukum Islam (istinbat). Namun demikian, kelima karakteristik tersebut dapat diperluas menjadi beberapa karakteristik lagi seperti toleransi, harmoni dan kerjasama antar kelompok agama yang berbeda (Hilmy, 2012).
Moderatisme ajaran Islam yang sesuai dengan misi Rahmatan lil ‘Alamin, maka memang diperlukan sikap anti kekerasan dalam bersikap di kalangan masyarakat, memahami perbedaan yang mungkin terjadi, mengutamakan kontekstualisasi dalam memaknai ayat Ilahiyah, menggunakan istinbath untuk menerapkan hukum terkini serta menggunakan pendekatan sains dan teknologi untuk membenarkan dan mengatasi dinamika persoalan di masyarakat Indonesia.
Selayaknya perbedaan sikap menjadi sebuah dinamisasi kehidupan sosial yang menjadi bagian dari masyarakat yang madani. Keberadaan Islam moderat cukup menjadi penjaga dan pengawal konsistensi Islam yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw. Untuk mengembalikan citra Islam yang sebenarnya, maka diperlukan moderasi agar penganut lain dapat merasakan kebenaran ajaran Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin. Moderasi dalam bidang politik (peran kepala negara) adalah amat naif bila ada negara tanpa pemimpin atau kepala negara. Maka dalam Islam, kepala negara atau kepala pemerintahan itu wajib adanya dan memiliki sikap kuat dan amanah.