Oleh: Diaz Gandara Rustam
Adanya keberagaman merupakan kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tak dapat dipungkiri, khususnya di negara Indonesia yang memiliki dasar Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika : Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan dan kebhinekaan. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang secara nyata telah berhasil dan sukses menyatukan semua kelompok etnis, bahasa, suku, budaya dan agama. Indonesia dideklarasikan bukanlah sebagai negara agama, akan tapi juga tidak memisahkan antara agama dan kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai yang ada dalam agama dijaga, dipadukan dan disatukan dengan nilai-nilai adat istiadat dan kearifant lokal, bahkan ada beberapa hukum agama yang dilembagakan oleh negara, agar pelaksanaan ritual agama dan budaya berjalan dengan damai dan rukun.
Dalam kehidupan sosial beragama, manusia tdak bisa menafikan adanya pergaulan, baik dengan kelomoknya sendiri atau dengan kelompok lain yang kadang berbeda agama atau keyakinan, dengan fakta demikian sudah seharusnya umat beragama berusaha untuk saling memunculkan kedamaian, ketentraman dalam bingkai toleransi sehingga kestabilan sosial dan gesekan- gesekan ideologi antar umat berbeda agama tidak akan terjadi.
Indonesia merupakan negara demokrasi, sehingga perbedaan pandangan dan kepentingan sering terjadi. Begitu juga dalam beragama, negara memiliki peran penting dalam menjamin keamanan masyarakat untuk memeluk dan menjalankan agamanya sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan yang dipilih.
Dalam pandangan Islam, dari sekian banyak agama, ideologi, dan falsafah yang mengemuka di dunia, hanya Islam yang akan bisa bertahan menghadapi tantangan-tantangan zaman. Pendapat ini bahkan sudah menjadi keyakinan bagi sebagian dari mereka. Pandangan ini berdasarkan pada sebuah kenyataan yang tidak dapat terbantahkan bahwa hanya Islam sebagai sebuah agama yang memiliki sifat universal dan komprehansif. Sifat inilah yang kemudian meniscayakan sejumlah keistimewaan-keistimewaan yang melekat pada Islam dan tidak pada agama-agama lain.
Hukum Islam memiliki fleksibilitas yang menjadi ruh dari pandangan-pandangan keagamaan yang sepatutnya kita jalankan. Sehingga menindaklanjuti maqasid al-syari’ah menjadi sebuah keharusan. Maqasid al-syari’ah dimaknai dengan makna-makna dan hikmah- hikmah yang diinginkan oleh Tuhan pada segala kondisi tasyri’, keinginan tersebut tidak hanya terbatas pada satu macam hukum syariat, tetapi semua bentuk hukum syariah yang tujuan dan maknanya termasuk di dalamnya. Juga termasuk makna-makna hukum yang tidak terekam dalam berbagai macam hukum, akan tetapi terekam dalam bentuk-bentuk yang lain.(Ibnu Asyur, 2001)
Moderat menjadi sebuah kata yang seringkali disalahartikan dalam kehidupan sosial beragama di Indonesia. Ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa orang yang moderat tidak memiliki keteguhan dalam pendirian, tidak serius, bahkan tidak menjalankan ajaran agama dengan sungguh-sungguh. Moderat disalahartikan dengan sebagai kompromi keyakinan secara teologi antara satu agama dan agama yang lain. (Kementerian Agama, 2019: 12-13)
Moderat harus dipahami dengan percaya diri terhadap ajaran agama yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang yang mengarahkan pada kebenaran pada tujuan subtantif dari agama itu sendiri. Umat Islam harus lebih moderat dalam menjalankan agama. Keadaan beragama di tengah covid 19 ini tentu berbeda dengan sebelumnya. Misalnya, bulan Ramadan kali ini tidak dijalankan seperti tahun-tahun sebelumnya, salat tarawih yang dikerjakan di masjid-masjid, ramadan kali ini dijalankan di rumah masing-masing tanpa mengurangi kesakralan amalan-amalan selama bulan Ramadan.
Ulama besar Syekh Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan, wasathiyyah yang disebut juga dengan at-tawâzun, yaitu upaya menjaga keseimbangan antara dua sisi/ujung/pinggir yang berlawanan atau bertolak-belakang, agar jangan sampai yang satu mendominasi dan menegaskan yang lain. Sebagai contoh dua sisi yang bertolak belakang; spiritualisme dan materialisme, individualisme, dan sosialisme, paham yang realistik dan yang idealis, dan lain sebagainya. Bersikap seimbang dalam menyikapinya yaitu dengan memberi porsi yang adil dan proporsional kepada masing-masing sisi/pihak tanpa berlebihan, baik karena terlalu banyak maupun terlalu sedikit.
Orang yang memiliki sifat adil akan senantiasa menjaga keseimbangan dan selalu berada di tengah dalam menangani ataupun menghadapi dua permalasalahan atau keadaan. Kata wasath dalam bahasa arab menunjukkan bagian tengah dari kedua ujung sesuatu. Kata ini memiliki makna baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis, “Sebaik- sebaik urusan adalah awsathuhâ (yang pertengahan)” , dikarenakan yang berada di posisi tengah akan senantiasa terlindungi dari cacat atau aib yang biasanya mengenai bagian ujung atau pinggir.
Edaran yang berisi tentang pentingnya mencegah penyebaran covid 19 di rumah ibadah dengan mengajak jajaran instansi di bawah Kementerian Agama untuk mensosialisasikan dan mensinergikan edaran tersebut di tengah masyarakat.(Kementerian Agama, 2020:1-2) Edaran tersebut subtansinya mengajarkan masyarakat untuk lebih mengutamakan sikap moderasi dalam menjalankan ajaran- ajaran agama masing-masing. Pada sisi yang lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga independen yang mengayomi umat Islam di Indonesia telah mengeluarkan fatwa-fatwa yang secara langsung dapat menghambat penyebaran wabah.
Pelaksanaan salat jumat wajib bagi umat Islam lebih khusu laki-laki yang sehat, berakal dan tidak terhalang uzur syar’i serta tidak dalam perjalanan (muqim). Akan tetapi, kewajiban jumat menjadi gugur ketika ada uzur seperti hujan lebat atau wabah yang melanda. Orang yang terpapar atau terindikasi covid 19 tidak boleh menghadiri salat jumat. Hadis Nabi menjadi argumentasi dalam hal itu: Allah dan Rasulullah dalam penetapan hukum agama. Maslahat esensial adalah jenis maslahat tertinggi yang dikehendaki Syari‘ untuk dilindungi.(Azzam, 2009: 88)