Oleh: Nazila Khoerunnisa

Beberapa waktu belakangan, dunia dikejutkan dengan pandemi virus corona yang melanda manca negara, begitupun Indonesia. Tidak ada yang menyangka bahwa virus corona tersebut mengguncang segala aspek lini sosial kehidupan manusia. Umat manusia terkejut dengan dampak yang ditimbulkan oleh virus tersebut. Bahkan, setiap negara memiliki kebijakan tersendiri dalam menghadapi situasi pandemi ini.

Covid 19 menjadi bencana global yang tidak memilih targetnya berdasarkan pertimbangan agama, suku dan budaya serta aliran. Setiap person berpotensi terjangkit apabila kualitasi tubuh tidak kuat, tidak menerapkan pola hidup sehat atau tidak menjaga jarak (phsysical distancing). (Saenong, 2020: 2) Oleh karena itu, virus tersebut ciptaan Allah yang kemungkinan dapat menyasar seluruh hamba-hamba-Nya, baik yang menjalankan kesalehan spritual maupun tidak. Kesalehan spritual tidak menjadi suatu jaminan akan terhindar dari covid 19 tersebut. Allah swt. berfirman dalam QS al-Anfal/8: 25:

“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang lalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras”. (Kementerian Agama, 2004)

Dampak virus corona yang paling mencolok dalam kehidupan keberagaman manusia, lebih khusus umat Islam. Penerapan sosial distancing (jaga jarak) memaksa pemerintah untuk memberikan anjuran untuk sementara waktu mesjid tidak digunakan seperti sedia kala, sekolah dan kampus tutup sehingga proses belajar mengajar dilakukan di rumah via daring, serta anjuran salat berjamaah dan salat Jumat di masjid ditiadakan sementara waktu.

Fakta itu menimbulkan polemik di tengah masyarakat termasuk dalam sebagian umat Islam itu sendiri. Sebagian memahami bahwa penutupan tempat ibadah karena virus corona tersebut sesuatu yang seharusnya dan sewajarnya, tetapi sebagian yang lain mengesampingkan dampak dari virus corona dengan menyayangkan penutupan tempat ibadah tersebut.

Oleh karena itu, berdasarkan fakta-fakta itu, perlu dipahami lebih jauh lagi bahwa dalam situasi pandemi seperti ini di luar nalar dan jangkauan umat itu sendiri. Moderasi beragama menjadi sesuatu yang mutlak dimaksimalkan dalam menghadapi dampak situasi yang tidak normal tersebut. Masyarakat harus mampu bersikap moderat dalam menjalani kehidupan keberagamannya, bukan dengan memberikan propaganda di berbagai aspek, misalnya memberikan status tertentu di media sosial miliknya.

Moderat menjadi sebuah kata yang seringkali disalahartikan dalam kehidupan sosial beragama di Indonesia. Ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa orang yang moderat tidak memiliki keteguhan dalam pendirian, tidak serius, bahkan tidak menjalankan ajaran agama dengan sungguh-sungguh. Moderat disalahartikan dengan sebagai kompromi keyakinan secara teologi antara satu agama dan agama yang lain. (Kementerian Agama, 2019: 12-13)

Moderat harus dipahami dengan percaya diri terhadap ajaran agama yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang yang mengarahkan pada kebenaran pada tujuan subtantif dari agama itu sendiri. Umat Islam harus lebih moderat dalam menjalankan agama. Keadaan beragama di tengah covid 19 ini tentu berbeda dengan sebelumnya. Misalnya, bulan Ramadan kali ini tidak dijalankan seperti tahun-tahun sebelumnya, salat tarawih yang dikerjakan di masjid-masjid, ramadan kali ini dijalankan di rumah masing-masing tanpa mengurangi kesakralan amalan-amalan selama bulan Ramadan.

By Editor